Piara dalam Penjara

Pagi kembali. Embun-embun sirna. Tak kulihat lagi aroma sisa hujan semalam. Tapi yang ada, hanya kuncup-kucup Sepatu yang mulai mekar mengembang. Ayam pun berhenti berkokok. Keheningan berganti letup suara-suara klakson yang memantul dari jalanan yang mulai dikerubungi kendaraan.

Semburat sinar jingga menyeruak masuk melalui celah-celah kaca jendela. Ya, mentari benar-benar hadir lagi. Namun, aku tak lagi merasakan hangat sentuhannya. Aku juga tak lagi merasakan sepijar semangat dari cahayanya. Hanya dingin. Gigil menyetubuhi ragaku yang letih.

Sudah seminggu tepatnya, influenza tak jua enyah dari badanku. Rasa kantuk akibat parasetamol dipadu dengan ngilu yang terpatri di sendi-sendi menjadi musuh yang harus kulawan.

Aku sejenak tertegun, menghela napas dan mengendalikan rasa ikhlas. Kulihat kasur dengan seprai yang masih berantakan dipadu dengan bantal guling yang berhamburan entah ke mana. Masih tercium dengan jelas, aroma cairan putih yang tercecer lengket pada badcover motif bunga-bunga yang menggelangsar di atas kasur. Bekas semalam.

***

Usiaku baru 30 tahun. Tapi jangan ditanya. Tubuhku tak lagi seindah dahulu. Aku tak lagi bisa berbangga dengan payudara sintal yang memantul-mantul tatkala kubawa ragaku berjalan. Tumpukan lemak juga mulai menjalar di sekitar perut dan lenganku. Pinggangku pun tak lagi ramping. Vaginaku juga tak lagi serapat tujuh tahun yang lalu. Ya, tak akan pernah lagi.

Betapa tidak, aku sudah mengalami tiga kali persalinan normal. Itu artinya, sudah tiga kali selaput tipis itu dirobek oleh gunting-gunting rumah sakit. Dan semua orang tahu, jahitan-jahitan dokter tak akan pernah bisa mengembalikan kerapatannya.

***

Aku adalah seorang ibu rumah tangga dengan empat orang anak. Anakku yang paling kecil baru lahir sekitar tiga bulan yang lalu. Dua orang kakak kembarnya belum sekolah, mereka masih menikmati sisa masa kecilnya sebelum keduanya pergi belajar seperti kakak sulungnya. Sulungku, kini tinggal di pesantren. Suamiku yang mengirimnya ke sana. Katanya, ia harus bisa menghafal ayat-ayat Tuhan sebelum usia belasan tahun.

Aku tak pernah mengerti dengan apa yang ada di dalam otak suamiku. Aku tak pernah bisa meraba isi kepalanya. Anakku baru berusia lima tahun dan ia harus memeras otak siang dan malam untuk menghafal ayat-ayat Tuhan; tanpa bermain, tanpa bersosialisasi, tanpa menonton televisi, dan yang jelas, tanpa pelukan ibunya.

Terkadang, aku hanya bisa menahan air mataku di depan orang-orang. Aku menahan dan menumpahkannya selalu di sepertiga malam terakhir. Aku mengadu pada satu zat yang kupecaya sebagai Tuhan. Aku mengadu sampai suaraku parau. Aku mengadu sekuat yang kubisa. Ya, aku hanya ingin kehidupan yang kuimpi-impikan menjadi nyata. Aku ingin menjadi perempuan seutuhnya, perempuan yang merdeka, yang bebas, yang bisa bersuara lantang atas hidup yang tak pernah kupilih.

***

Siang menjelang. Kudengar suara azan berlomba dengan rintik hujan yang jatuh satu-persatu ke atap rumah. Aku meneguk segelas air bersama beberapa tablet parasetamol dan antihistamin. Kini, kubiarkan pantatku menyentuh karpet bulu berwarna cokelat yang terhampar di ruang keluarga.

Siang ini, aku masih harus berjibaku dengan setumpuk pakaian yang minta disetrika. Kulihat tumpukan itu begitu tinggi menjulang. Bentuknya macam-macam, dari pakaian anak, daster, celana kerja, hingga celana dalam. Aku menyentuhnya satu demi satu dan merapikan lipatannya. Kuhubungkan kabel setrika itu ke colokan putih yang menempel di sudut ruangan. Sambil kembali menghela napas lelah, aku meraih papan hitam yang akan kugunakan sebagai alas setiap kali menyetrika.

Kali ini, anak-anakku sudah terlelap dalam tidur. Dan sekarang, tinggal mataku yang masih menyala bersama televisi yang bersandar rapi di atas meja kaca persegi empat yang tiang-tiangnya terbuat dari kayu bercat putih.

Aku meraih remot hitam yang terlentang di sampingku dan memencet-mencet tombolnya. Tidak ada acara yang menarik siang ini, kecuali, berita tentang demostrasi mahasiswa yang bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda.

Dari kotak elektronik itu, kulihat gambar arak-arakan mahasiswa berjaket kuning dengan membawa bendera makara warna-warni membanjiri Istana Negara. Keningku mulai mengkerut. Kuamati betul-betul gambar yang terpambang di layar televisi itu.

Aku bisa melihat usaha para mahasiswa membelah kerumunan polisi dan menaklukkan jalanan ibu kota yang panas dan berdebu. Oh, sungguh mengagumkan. Aku juga bisa mendengar pekik orasi salah satu dari mereka yang meneriakkan lima tuntutan untuk Presiden Jokowi. Dan seketika, ingatanku kembali melayang menuju tujuh tahun yang lalu, saat aku masih bisa menjadi bagian dari mereka.

Sebelum menikah, aku adalah seorang aktivis. Aku bahkan pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Aksi dan Propaganda di Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat universitas. Saat menjadi mahasiswa, aku adalah perempuan yang terbiasa dengan tingginya mimbar-mimbar orasi dan panasnya jalan-jalan demonstrasi.

Saat itu, meja-meja audiensi dan ruang-ruang rapat hampir menjadi santapanku setiap hari. Ya, aku pernah menjadi salah satu gadis yang berani bersuara lantang saat rezim Orde Baru hendak ditumbangkan.

Ketika itu, seperti kawan-kawanku kebanyakan, aku juga punya cita-cita yang tinggi. Aku pernah ingin menjadi bagian dari mereka yang duduk di kursi-kursi senayan untuk menyuarakan kepentingan umat. Aku ingin menghabiskan hari-hariku bersama kontribusi-kontribusi besar bagi negeri.

Ya, aku ingin menjadi perempuan yang bisa bermanfaat bagi banyak orang. Namun, aku segera sadar, impian itu kini hanyalah tinggal impian. Aku terpaksa harus menguburnya dalam-dalam sesaat setelah aku memutuskan untuk menikah dengan Reyhan, suamiku.

***

Aku berjumpa dengan Reyhan di sebuah lembaga dakwah kampus di UI. Kami bekerja sama dalam berbagai kepanitiaan, mulai dari lomba pidato hingga seminar-seminar keislaman. Aku mengenalnya dengan cukup baik, aku melihatnya begitu tampan dan cerdas. Itu sebabnya aku begitu mencintainya dan memutuskan untuk menerima pinangannya.

Reyhan memberikan proposal nikah kepada kedua orang tuaku dan mereka menerimanya dengan cuma-cuma. Reyhan tampaknya memang cukup lihai meyakinkan ayah dan ibuku saat itu. Betapa tidak, di usianya yang baru 22 tahun, ia sudah merintis sebuah usaha start up di bidang teknologi dan informasi dengan omzet mencapai 20 juta perbuan.

Tidak hanya itu, beberapa hari setelah sidang kelulusnnya dari Fakultas Teknik UI, ia diterima bekerja di sebuah perusahaan multinasional dengan tawaran gaji sebesar 17 juta. Cukup tinggi untuk ukuran fresh graduate.

Reyhan menikahiku sesaat setelah aku memeroleh gelar sarjana sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan predikat cumlaude. Dan dari situlah, aku memulai hidupku yang baru. Ya, aku memulai hidupku dalam penjara Reyhan.

Betapa tidak, Reyhan mulai berubah menjadi sangat kaku dan ia mengurungku di rumah atas nama ayat-ayat Tuhan yang ia tafsirkan semaunya. Aku hanya boleh memajang semua sertifikat penghargaan dan ijazah cumlaude-ku di dinding-dinding hanya untuk menunjukkan pada orang-orang bahwa ia menikahi perempuan yang berpendidikan tinggi.

Aku merasa tak pernah sebebas dahulu. Reyhan menyibukkanku dengan empat orang anak yang lahir di tahun yang berdekatan karena aku tak diperbolehkan meminum pil kontrasepsi. Ya, ia selalu meneriakkan kata-kata haram tatkala aku mencoba memohon untuk sesekali meminumnya.

Aku juga tak boleh keluar rumah seenakku. Aku bahkan tak boleh berpakaian sesuka hatiku. Reyhan membelikanku puluhan gamis berwarna hitam lengkap dengan cadar dan burqa. Dan bodohnya, aku mengenakan semua pakaian itu atas dasar cinta. Aku menuruti semua perkataannya atas nama kasih sayang. Aku mengikuti semua perintahnya atas dasar dalil-dalil agama yang ia gaungkan setiap hari. Aku—dengan penuh kesadaran—rela memenjarakan diriku dalam pelukan Reyhan, dalam janji-janji cinta yang entah ia definisikan sebagai apa.

Dan kini, aku benar-benar menjadi miliknya. Aku hanya bisa diam menerima tamparannya ketika masakanku terlampau asin atau kopi yang kubuat terlalu pahit. Aku hanya bisa diam menerima pukulannya tatkala anakku kakinya berdarah sebab terjatuh saat bermain. Aku hanya diam. Aku percaya bahwa suara perempuan itu aurat dan aib suami harus dijaga. Aku hanya diam, hingga dadaku sesak dan aku memilih menceritakan semua ini pada seorang sahabat yang tinggal di samping rumahku, Halimah.

***

“Kau tak mau menceraikannya?”

“Tidak, Halimah. Aku mencintainya.”

“Tapi ia mengurungmu seperti seekor burung dara, Melati.”

“Aku hanya ingin ia sedikit saja berubah.”

“Kau menginginkan harimau menjelma kucing? Itu tidak mungkin.”

“Astagfirullah. Apa maksudmu? Apa kaupikir perpisahan adalah cara yang terbaik? Keempat anakku masih sangat kecil. Bagaimana bisa mereka tumbuh tanpa orang tua yang lengkap?”

“Anak-anakmu tak akan apa-apa. Kau tinggal mendidiknya dengan baik dan memberinya uang jajan yang cukup. Aku tahu kau ini cerdas sejak dulu, Melati. Ijazah dan curriculum vitae-mu yang luar biasa itu akan mengantarkanmu pada pekerjaan yang mapan.”

“Tapi, apa kaupikir aku sanggup hidup tanpa kasih sayang seorang pria?”

“Apa kau pikir Reyhan benar-benar menyayangimu, Melati? Hah? Ia hanya menganggapmu sebagai boneka yang bisa ia permainkan kapan saja. Apa kau tidak menyadarinya?”

“Tapi aku belum siap menjadi seorang janda, Halimah. Aku belum siap menghadapi pahitnya fitnah dan stigma negatif dari orang-orang di sekitarku. Aku juga belum siap kehilangan separuh agamaku, Halimah. Bukankah pernikahan adalah satu-satunya cara untuk melengkapi separuh agama?”

“Jangan munafik, Melati. Aku tahu kau ini sebenarnya biasa-biasa saja dalam urusan agama. Suamimulah yang membuat isi kepalamu jadi apologetika dan penuh pertimbangan ukhrawi. Melati, kaulihat? Aku ini seorang janda, dan aku masih bisa leluasa melakukan apa pun. Aku bisa ke masjid sesuka hatiku, aku bisa jalan-jalan, aku bisa mendermakan diriku untuk kepentingan umat, aku bisa menghabiskan waktu-waktuku untuk bersolek dan mencari uang. Aku bebas, Melati. Aku merdeka. Apa kau tak ingin sepetiku?”

“Istigfar, ya uhkti.”

“Tak usah kaumengajariku cara meminta ampun kepada Tuhan. Tuhanku baik, Melati. Tuhanku membebaskanku. Rupanya, kauperlu mempertanyakan kembali kebebasanmu pada Tuhamu.”

“Jangan salahkan Tuhanku, Halimah. Ia tak pernah salah. Aku yang memilih takdirku. Aku yang memilih memenjarakan diriku sendiri selama ini.”

“Baiklah, sekarang aku tanya, Melati. Apa  kaumasih ingin bahagia?”

“Tentu saja, Halimah.”

“Kalau begitu, ceraikan saja suamimu. Hei Melati, lihat dirimu. Kau ini masih cukup cantik, Melati. Tinggal dipoles sedikit saja, aku jamin, pria-pria akan mendekatimu. Dan aku yakin, setelah ini, kau akan cukup punya kuasa untuk memilih suami impianmu. Yang bisa membebaskanmu. Yang mau memerdekakanmu.”

“Akan kupikir-pikir lagi, Halimah.”

***

Sudah pukul 24.00 dan Reyhan belum juga pulang. Ketiga malaikat kecilku sudah tenggelam dalam mimpi sejak pukul 21.00. Aku menyibak kanopi dan termangu memandang langit dari jendela. Aku ingat, malam ini adalah malam ke-30 di bulan Oktober. Rembulan sedang terang-terangnya. Aku bisa melihat silau cahaya purnama terpantul oleh kaca-kaca apartemen.

Kubiarkan resahku lesap bersama suara jam yang berdetak konstan, bersama dengung suara nyamuk yang bersembunyi di pojok-pojok ruangan. Aku ingin tak memedulikan Reyhan dengan berpikir macam-macam. Aku tak ingin memikirkan apa yang ia lakukan di luar sana. Tapi ternyata, aku tak bisa. Aku terus saja memikirkannya tanpa henti. Aku terus melamun hingga akhirnya, kudengar suara ponsel bergetar, tanda ada panggilan masuk.

“Assalamualaikum, Abi. Abi tak pulang?”

“Waalaikum salam. Abi masih ada kerjaan. Mungkin pulang besok. Sudah dulu, ya assalamu alaikum.”

Reyhan menutup teleponnya dengan tergesa-gesa. Mungkin, ia memang sedang ada pekerjaan malam ini. Maklum, asisten manager. Pasti sibuk, pikirku. Aku memutuskan untuk mengulurkan selimut dan bersiap memejamkan mata.

Belum sempat si mata benar-benar terpejam, lampu rumah tiba-tiba mati. Aku terperanjat dari tempat tidur. Kuambil senter dan kucari sumber saklar listrik. Masih on. Aku mencoba menengok rumah tetangga yang lain. Tapi tiada ada satu pun yang mati lampunya.

Aku mulai menelpon sahabatku Halimah tapi ia tak juga mengangkat. Aku mulai panik. Ketiga anakku terbangun dan menangis. Aku paham betul, mereka takut kegelapan. Tanpa pikir panjang, kuraih bungsuku dan kugandeng kakak-kakaknya keluar rumah.

Aku mengajak mereka menuju rumah Halimah yang berada tepat di samping rumahku. Kuketuk pintunya dan tak ada jawaban. Ketiga anakku masih menangis. Aku mencoba memegang gagang pintu dan ternyata tak terkunci. Aku mengucap salam dan memanggil nama Halimah dan tetap saja tak ada jawaban. Kuputuskan untuk masuk ke rumahnya. Aku menyuruh kedua anak kembarku menunggu di kursi tamu bersama adik bungsunya. Sementara, aku berjalan menuju kamar Halimah.

Rumah Halimah tampak sepi, namun, tak ada satu pun lampu yang  ia matikan. Ia tampak membiarkan lampu-lampu itu menyala menerangi seluruh sudut rumah. Aku terus berjalan menelusuri sudut rumah itu. Aku mencoba memanggil nama Halimah berkali-kali namun tetap tanpa jawaban.

Sesaat kemudian, aku tiba di depan kamar Halimah yang pintunya tertutup. Tapi ada yang ganji. Aku mendengar suara perempuan yang mendesah seperti sedang dibelai laki-laki. Perempuan itu mendesah begitu hebat disertai bunyi kecupan; seperti bunyi dua bibir yang dilekatkan lalu ditarik kembali. Kini, bukan hanya desahan suara perempuan yang kudengar, tapi juga suara laki-laki yang memanggil-manggil nama Halimah dengan mesra.

Hatiku kalut. Rasa penasaran membuncah. Refleksku menuntuntu tuk mengintip isi kamar itu. Dan sekarang, kulihat di hadapanku; dua orang laki-laki dan perempuan beradu kemesraan di atas ranjang dengan pakaian yang tanggal berserakan di atas lantai; mereka adalah sahabatku sendiri, Halimah, dan Reyhan, suamiku.

Napasku mulai tersengal, hatiku seperti teriris oleh puluhan belati beracun. Kepalaku mulai pening dan dadaku seperti dicambuk oleh kekuatan mahadahsyat. Aku dirajam kecewa. Air mengalir membanjiri mataku yang terbelalak tanpa kedipan. Tubuhku rebah dan kaku. Ngilu menjalar di seluruh persendian. Tapi mulutku hanya bungkam tanpa suara. Malam ini, aku benar-benar kehabisan kata-kata.

Dadaku semakin sesak dan aku tak sanggup lagi terdiam di tempat ini. Aku kemudian berlari secepat yang kubisa, kutinggalkan ketiga anakku di rumah itu. Kutinggalkan kedua pria dan wanita yang khusyuk dalam persetubuhan liarnya. Aku terus berlari ke luar rumah. Aku terus memacu kedua kakiku entah ke mana.

Kubiarkan kepingan hatiku yang patah berserakan di jalan-jalan malam, sedang tubuhku terus berlari membebaskan jiwa dari penjara rasa kecewa. Aku terus berlari seperti kuda yang dikejar harimau. Aku terus berlari. Aku terus berlari keluar dari jeruji-jeruji cinta yang selama ini mengekangku dan kemudian menghancurkanku dengan perselingkuhan yang terpampang nyata di depan mata. Ya, aku terus berlari, entah sampai mana.

Gambar dipinjam dari sini.

Depok, 31 Oktober 2016

Untuk semua perempuan di dunia:

Frista Nanda Pratiwi.

 

 

 

 

2 thoughts on “Piara dalam Penjara

Leave a comment