Dalam Diam dan Pendam

Aku terpenjara bersama arak-arakan mahasiswa berjaket kuning yang sibuk meneriakkan orasi-orasi aneh. Jumlah mereka tidak sedikit. Ada ratusan kukira.

“Hidup mahasiswa! Hidup nelayan! Hidup rakyat Indonesia!”

Teriakan itu begitu keras menggema, memantul bersama debu dan terik matahari yang begitu ganas mengintimidasi. Aku hanya bisa menarik napas sepanjang yang kubisa, membenarkan jilbab, dan mengusap bibirku yang gincunya sudah mulai luntur disiram peluh.

“Hidup mahasiswa! Hidup nelayan! Hidup rakyat Indonesia!”

Persetan! Aku hanya punya dua pilihan hari ini: pulang nanti, membawa berita, dan semua akan baik-baik saja, atau pulang sekarang, tanpa berita, dan aku harus rela menanggung caci-maki yang mengerikan. Dan bodohnya, aku memilih yang pertama.

Semua ini berawal dari ulah si Reka, pemimpin redaksi yang super sialan itu. Dengan gaya diktatornya yang menyebalkan, ia kembali menyuruhku turun ke jalan. Bukan, bukan untuk berdemonstrasi dan beraudiensi, apalagi membela rakyat kecil.

Bukan! Ia hanya menyuruhku menjadi budak organisasi dan menuntaskan ambisinya: mewujudkan Pers Suara Mahasiswa sebagai satu-satunya pers mahasiswa yang paling up to date dan berpengaruh.

“Apa pun yang terjadi, dapur redaksi harus tetap mengepul!” ujarnya suatu hari.

Bodo amat, kataku. Ya, dapur redaksi akan tetap mengepul, selama orang-orang totol sepertiku mau turun dan meliput. Selama, orang-orang menyedihkan sepertiku mau terseok-seok mengejar para narasumber biadab yang sok keren itu.

Ah, aku benci anak-anak BEM. Aku benci dengan segala birokrasi yang ada di kampus. Gedung rektorat, ruang-ruang dekan, Pusgiwa, asrama mahasiswa, Klinik Satelit, masjid UI, ah aku benci semuanya. Bagiku, di mana ada narasumber, di situlah aku mulai membencinya. Dan hari ini, aku mulai membenci Gedung Kementrian.

***

“Kami sudah menyatakan penolakan keputusan Menko Maritim untuk tetap melanjutkan proyek reklamasi karena merugikan lingkungan dan masyarakat. Ini adalah keputusan yang keliru, Saudara-saudara! Dengan tetap melanjutkan proyek ambisius ini, pemerintah berarti telah menutup mata terhadap proses moratorium yang sedang dilakukan. Hal itu sama saja dengan melecehkan dan melanggar hukum yang ada!” ujarnya.

Sudah satu jam lebih aku melihatnya berdiri di atas podium. Badannya masih tegap, gelora semangat masih kentara dalam nada bicaranya. Ya, ia begitu fasih berpidato soal reklamasi beserta alasan penolakannya. Ia juga cukup lancar menyampaikan tuntutan nelayan dan bahkan tak segan melayangkan kritikan pedas kepada pemerintah.

Aku pikir, argumennya juga cukup logis, ia cukup bisa merangkai gagasan dengan runtut dan proporsional. Aku bahkan sempat beberapa kali mengangguk. Bagiku, ini adalah orasi terkeren yang pernah aku dapati.

Ngomong-ngomong, aku sebenarnya bisa melihat raut letih dari air mukanya. Tapi, suaranya yang lantang dan mengesankan tlah berhasil mengaburkan keletihan itu. Ia cukup bisa tampil prima dan mempesona. Tampaknya, ia banyak belajar soal cara berorasi dan mengendalikan massa.

Kalau dipikir-pikir, ia juga cukup tampan. Lengan almamater yang sedikit tergulung, dipadu dengan peluh yang membasahi wajahnya menjadi kolaborasi yang pas untuk sebuah justifikasi ketampanan.

Aku kemudian melihatnya turun dari podium. Rekan-rekannya menyambut tangannya dengan salam penuh bangga. Tampak jelas olehku, ada senyum kepuasan yang mengembang pada bibirnya. Senyum itu mengembang begitu luwes dan deg. Ada semacam getar aneh yang muncul di dadaku. Sial! Aku turunkan padanganku dan kemudian memilih untuk tidak mengamatinya lagi.

***

Telisik punya telisik, aku baru tahu kalau ia adalah Ketua BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Namanya Alfatih. Itu adalah kesimpulan yang aku dapatkan setelah bertanya dengan orang di sebelahku.

“Elah, lo anak Pers Suara Mahasiswa, kan? Kok nggak kenal Alfatih, sih,” ujarnya.

Maklum, aku memang anak baru. Masih ingusan. Baru juga gabung kemarin sore. Eh, serius! Kemarin baru pelantikan. Tapi jangan salah, aku sudah beberapa kali disuruh liputan sama si pemred sialan ketika magang. Ya, aku sudah beberapa kali liputan, dan sayangnya, belum pernah sekali pun mewawancarai Alfatih.

***

Mampus! Ini di luar dugaanku. Aksi yang awalnya baik-baik saja menjadi ricuh tak terkendali. Aku sebenarnya tak begitu mengerti, tapi yang aku pahami, ada beberapa mahasiswa yang memberontak dari kerumunan, mereka memprovokasi yang lain untuk membuyarkan barisan aparat dan merangsang masuk ke dalam Kantor Kementrian Bidang Kemaritiman.

Massa mulai kelimpungan. Polisi agresif. Gas air mata berhambur ke udara. Orang-orang berlari. Aku juga berlari sembari sesekali mengucek mata. Perih, aku mencoba menguceknya lagi. Tak berhasil. Mataku makin memerah dan aku mulai tak sanggup berlari.

Aku meringkuk duduk. Masih mengucek mata. Badanku beberapa kali tersandung kaki-kaki demonstran yang berlarian. Tanganku juga sempat terinjak. Massa makin menjadi-jadi. Aku makin tak berdaya. Tubuhku akhirnya tumbang. Dalam pandangan mata kurang-kurang, aku lantas merasa dibopong oleh seseorang.

Duh! Jangan-jangan polisi. Aku coba merogoh saku dengan sisa tenagaku, mencari-cari kartu pers yang barangkali berguna, kalau-kalau nanti ditanya oleh polisi. Aku coba merogoh sakuku lebih dalam. Tapi tampaknya percuma. Tidak ada. Aku mulai panik. Ingin rasanya turun dari bopongan itu lalu lari secepat mungkin. Tapi tak bisa. Pandangan yang kabur dan tubuh lemas yang penuh memar menjadi alasan logis mengapa aku tidak melakukannya.

Tubuhku diturunkan di balik semak-semak. Orang itu kemudian mengusap mataku dengan sapu tangan yang sudah dibasahi oleh sedikit air. Mataku membaik. Aku mulai mengedip-ngedipkannya. Ini sangat lebih baik. Aku mulai bisa melihat warna-warna di sekitarku. Termasuk melihat seseorang yang tadi membopongku. Alfatih.

***

Aku benar-benar tidak pernah merencanakannya. Aku tidak pernah merencanakan untuk menjadi seseorang yang sangat berbeda dari sebelumnya. Sudah setahun lebih, aku berubah seperti ini. Sudah setahun lebih pula, aku mulai menikmati peranku sebagai reporter.

Aku mulai sangat militan dalam meliput pun menghadiri rapat redaksi. Bahkan, aku masih sering turun meliput hingga sekarang. Tapi bedanya, tidak ada lagi kata “sialan” atau “persetan” yang keluar dari mulutku, meskipun proses peliputan masih sebegitu menyebalkannya, sama seperti setahun yang lalu.

Tidak cukup sampai di situ, aku kini juga sudah menggantikan Reka, menjadi pemimpin redaksi website suaramahasiswa.com, salah satu produk Pers Suara Mahasiswa. Aku menggantikan Reka sesaat setelah ia sukses terpilih menjadi Pemimpin Umum kami. Ya, aku kini benar-benar menjadi sangat berbeda.

Kurasa, semua itu gara-gara Alfatih. Alfatih. Benar. Aku sangat yakin jika semua itu memang gara-gara Alfatih. Sejak kejadian aksi reklamasi saat itu, aku mulai menyukainya. Aku juga mulai membuka mata dan menelisik kehidupan anak-anak BEM. Tidak terlalu buruk, ternyata.

Awalnya, ada semacam gairah dan semangat tersendiri ketika aku dihadapkan dengan beberapa isu kampus yang memungkinkanku meliput dan berjumpa dengan Alfatih. Tapi kemudian, aku mulai kerajingan membaca buku dan berbagai informasi mengenai media dan seluk-beluk jurnalistik. Kini, aku menjadikan jurnalistik bukan hanya sebatas hobi atau tuntutan, tetapi juga menjadi semacam panggilan jiwa. Ya, aku benar-benar menjelma sosok yang lain dari sebelumnya.

***

Sejujurnya, aku juga tidak pernah merencanakan untuk menaruh hati pada orang asing yang tidak begitu aku kenali. Aku tidak pernah merencanakan untuk sekukuh itu mencari informasi mengenai sosok asing itu. Aku tidak pernah merencanakannya bahkan setelah aku mengirimkan beberapa surat rahasia padanya. Pada Alfatih.

Jika cinta adalah soal perhatian, aku pasti kalah telak dengan orang-orang yang selalu berada di dekatmu, yang selalu ada dalam susah dan senangmu.

Jika cinta adalah soal pengorbanan, apalah aku ini yang hanya bisa meluangkan waktu-waktuku untuk mengamatimu dari kejauhan, karena mendekatimu saja, aku tak kuasa.

Aku tak pernah berani menjamin cintaku untukmu adalah yang paling besar dan tulus jika dibandingkan dengan cinta yang diberikan oleh gadis-gadis lain di luar sana, yang begitu leluasa menyapa dan menyentuh kehidupanmu.

Aku tak pernah berani menjamin apa pun kecuali satu hal; benar aku mencintaimu dan tak ada yang lain.

Jika kauberi kesempatan dengan membuka pintu hatimu sedikit saja, aku pasti tak akan menyia-nyiakannya, aku akan berikan yang terbaik selama aku bisa. Namun, jika kesempatan itu tak pernah ada, biarkan aku tetap mencintaimu dengan cara seperti ini saja.

Sudah hampir dua tahun aku memendam perasaanku pada Alfatih. Ini menggelikan. Aku menjelma gadis paling aneh karena menunggu sebuah angan-angan menjadi nyata. Ya, aku menjadi pengagum rahasia yang mahabodoh karena tidak berani mengungkapkannya. Aku tidak berani mengungkapkannya bahkan setelah kami berdua sama-sama lulus dan enyah dari kampus.

***

Duh! Ini sudah terambat. Aku mengegas motor secepat yang kubisa. Panik. Betapa tidak, konferensi pers dimulai jam delapan dan kini—jam delalan lewat 10 menit tapi aku masih tergopoh-gopoh menuju Senayan.

Aku parkir motorku dengan sembarangan. Tidak terkunci. Bodo amat. Aku harus segera menghadiri konferensi pers dan menulis berita, atau honorku selama sebulan akan ditahan. Aku berlari menuju lift. Penuh. Antri. Tidak mau membuang waktu, aku kemudian berlari menuju tangga. Lantai lima tak terlalu jauh, pikirku.

Aku tiba di sebuah ruangan rapi ber-AC. Ya, ruangan yang digunakan untuk konferensi pers. Beberapa wartawan sudah tiba lebih dulu. Aku masih beruntung, konferensi pers belum dimulai. Menko Perekonomian juga belum hadir. Ya, ruangan ini hanya penuh oleh para awak media dan puluhan petugas keamanan.

Sesaat kemudian, dari kejauhan, aku melihat Pak Menko memasuki ruangan  konferensi pers. Ia didampingi oleh seorang ajudan. Tunggu, bukankah itu Alfatih? Aku menggeser posisiku. Mendekat. Aku ingin memastikan apakah itu benar Alfatih. Ya, itu Alfatih. Aku baru tahu kalau sekarang ia menjadi staf ahli menteri. Hebat juga, pikirku.

Selama konferensi pers, aku hanya sibuk mengamati Alfatih. Hmm ini menjadi liputan tertidakfokus selama aku bekerja di Tempo. Menyedihkan. Saat ini, aku benar-benar merasakan bagaimana urusan hati sebegitu berpengaruhnya terhadap profesionalitas. Ya, jujur saja, hingga kini aku masih sendiri dan “rasa itu” sontak hadir lagi.

Usai acara, aku masih mencoba mengamati gerak-gerik Alfatih. Setelah mengantarkan Pak Menteri ke ruangannya, Alfatih kemudian beringsut pergi. Aku mengikutinya. Ia menuju lift untuk turun. Aku masih terus mengikutinya, barangkali, ada kesempatan untuk menyapa—dan mungkin juga menanyakan kabarnya. Beruntung, kami berada dalam satu lift. Tetapi, karena lift yang penuh dan berdesakan, jarak kami terlalu jauh.

Alfatih keluar dari lift dengan langkah sedikit tergesa. Aku masih mengikutinya. Aku melihat dia menuju gerbang depan. Aku masih terus mengikutinya hingga aku melihatnya menghampiri seseorang.

Seorang perempuan muda yang cukup cantik—dengan jilbab besar yang menjulur sampai ke dada—turun dari mobil. Tangannya kemudian meraih tangan Alfatih. Sembari mengucap salam, dikecupnya tangan Alfatih dengan lembut. Sambil terperangah, aku melongok jari-jari yang sedang bersalaman itu. Ada sepasang cicin warna perak yang sama-sama melingkar di jari manis mereka. Ya, aku baru sadar, belum tentu ada kesempatan, untuk yang selalu diam dan memendam.

Depok, 26 September 2016

Gambar dipinjam dari sini.

Sebuah fiksi; kesamaan nama dan peristiwa bukanlah keniscayaan.

3 thoughts on “Dalam Diam dan Pendam

  1. Sedari judul, saya sudah tertarik dengan pemilihan katamu mbak. Sekarang saya justru suka dengan gaya berceritamu, lugas, saya suka ceritanya. 🙂

    Like

Leave a comment